Perihal Kosmos
“Kosmos adalah segala yang ada, atau pernah ada, atau akan ada” — Carl Sagan
Aku berdiri di pantai lautan kosmik yang tenang dengan riuhnya. Hanya ada tiga orang di sini: aku, beserta sepasang manusia yang tengah kelelahan, menggigil setelah empat puluh satu tahun yang lalu dimandikan sinar matahari di atas karang-karang terjal di Monterey yang berangin. Sesekali mereka memetik satu-dua bintang untuk menjaga lembaran-lembaran naskah yang berlomba menerbangkan dirinya ke samudera, membuat mereka tersenyum, seakan merasakan sensasi melayang di udara.
Ketika kuhampiri, lelaki yang kuketahui bernama Carl Sagan itu mengguncang bahuku,
“Kemarilah dan sadarlah! Terbangkan dirimu ke sana! kesadaran ini hanya bisa kau bandingkan dengan jatuh cinta.” Serunya bersuka cita.
“Aku sedang jatuh cinta.”
“Begitu pula kami. Ceritakanlah kepada dunia.”
Carl menepuk lenganku, sedang wanita di sampingnya hanya tersenyum. Dan setelah menyaksikan gambaran utuh satu sama lain saat menatap perairan Pasifik yang berkilauan, mereka mulai berlayar menuju bintang-bintang, tersenyum dan berkata, “Selamat datang.”
Kosmos baru saja ditemukan kemarin, dengan ukuran dan usia yang tak terperi, jauh melebihi pemahaman manusia. Kosmos terbentang dengan miliaran petualangan dan eksplorasi yang mendebarkan, namun cukup menyenangkan bagi umat manusia untuk menjelajahinya. Mengingat makhluk berbasis karbon satu ini telah banyak merenung, berpikir, dan menganggap pemahaman dapat diartikan sebagai suatu kebahagiaan, serta masa depan bergantung kepadanya, aku terapung-apung di dalamnya bagai bebek karet kuning di tengah malam, di tengah-tengah lautan luas.
Aku duduk di atas sebuah rakit berbahan kayu, memperhatikan laut berwarna hitam dan melihat pantulan jutaan bintang yang menghiasinya, beserta tanda tanya dalam jumlah yang tak kalah banyaknya, berebut untuk menjadi yang paling terang di sana.
Pandanganku menangkap sesosok wajah yang turut menatap disampingku, tanpa suara. Kamu, baik-baik saja, kan?
Kamu mungkin telah berusaha untuk menelan seluruh tanda tanya itu, sedemikian hingga wajahmu dipenuhi keraguan, dengan serangan kepanikan yang seringkali menetap dan enggan untuk pergi tanpa obat-obatan yang disukainya. Aku membaca tanda-tanda itu dari pantulan wajahmu, yang menanyakan darimana hidup berasal? Kemana tujuannya? Apakah memiliki awal? Bila iya, apa yang terjadi sebelumnya? Kemudian, Apa hakikatnya? Akankah ia berakhir? Bisakah memundurkan hidup ini?
Aku melihat pantulanmu yang menyiratkan perasaanmu. Mungkin dengan semangat kamu akan berseru: aku siap menghadapi semuanya sendirian! Namun kamu juga ingin menangis mengakui: aku takkan pernah siap untuk tinggal berdua dengan kesendirian.
Kamu merasa begitu sesak dengan sepi yang terlalu ramai. Namun sebuah kelapangan yang hiruk pikuk dengan kesunyian yang mencekam bersemayam dalam dirimu. Seringkali kamu memilih untuk pergi ke sebuah tanah lapang di tepi angkasa, mengisi waktumu berkejar-kejaran dengan rasa sedih dan mendengarkan memori menceritakan masa lalunya. Karena bagimu, dibiarkan dan diabaikan bukanlah pilihan.
Mungkin kamu memang memahami cara terbaik untuk merayakan kehilangan, kamu sangat memahami itu, walaupun seringkali kamu masih berkubang dalam rasa berkabung dan mempertanyakan apa yang tersisa dari dirimu setelah habis dicabik-cabik oleh masa lalu. Kamu akan membiarkan semua itu berlalu, namun merawat luka itu dan membesarkannya hingga dewasa, cukup untuk kembali mengoyakmu, lagi dan lagi.
Aku membuyarkan lamunan pantulan wajahmu yang masih menatapku, dengan menceritakan bagaimana cendekiawan dunia mengenal semesta. Dimulai dari Bangsa Yunani yang menyadari bahwa bintang utara tampak lebih rendah di angkasa ketika dilihat di selatan, bersama Aristoteles yang menuliskan Peri Ouranou sebagai orang pertama yang menganggap Bumi berbentuk bulat. Kemudian Ptolomeus yang menyatakan bahwa bumi berada di pusat semesta, dengan delapan lingkaran yang mengelilinginya, mencakup bulan, matahari, bintang-bintang, dan lima planet yang saat itu baru saja dikenali. Modelnya diterima oleh gereja karena menyisakan cukup banyak ruang di luarnya untuk surga dan neraka.
Kamu kembali tenggelam dalam pikiranmu sendiri. Merasa kenyang dengan hidup yang dipenuhi oleh surga dan neraka di antara kedua lenganmu.
Kamu bingung. Kamu Takut. Kamu menolak apa yang telah kamu terima, menganggapnya sebagai sesuatu yang salah dan dapat diperbaiki. Mungkin kamu akan mencoba untuk mengulanginya untuk mendapatkannya kembali, hingga pada akhirnya yang datang hanyalah amarah dan penyesalan. Kamu tertekan. Kamu terpuruk. Hingga pada akhirnya, walaupun kamu tergantikan, kamu ingin bahagia.
Aku menyeret kesadaranmu kembali dengan kisah pendeta dari Polandia bernama Nikolaus Kopernikus yang memperjuangkan anggapan bumi bulat. Meskipun pada akhirnya ia dianggap menentang gereja, dan dihukum mati karenanya. Pantulan wajahmu tertawa heran, menganggap bahwa sang pendeta saat ini tengah menertawakan para algojo dan orang-orang yang dulu mengoloknya.
Sejenak kemudian kamu terdiam, menganggap bahwa pada akhirnya, yang kamu lakukan dalam hidup ini sama adanya. Mempunyai pilihan, namun tidak diberi kesempatan untuk menyampaikannya. Mempunyai pemikiran, namun tak diberi waktu untuk memperdengarkannya.
Mereka mungkin tak mengerti dan menganggapmu sebagai anomali atas apa yang kamu pilih. Namun pada akhirnya, mereka yang membandingkan semua yang ada padanya dan tidak padamu, pun sebaliknya, serta merasa paling tahu atas apa yang kamu ingin dan butuhkan, bukanlah kamu, yang menjalani dan menghadapi semuanya sendirian.
Aku bisa melihat pantulan wajahmu yang menangis.
Untuk menghiburmu, aku mengisahkan Kepler yang menganggap planet beredar dalam orbit elips, yang sempat diragukan karena dianggap lebih tak sempurna dibanding lingkaran. Kamu menimpali dan membandingkan dengan hidup yang seringkali tak sempurna.
Tidak, tidak ada hidup yang sempurna. Namun hidup yang tak sempurna itu membuatmu menjadi seorang yang sempurna.
Kamu boleh mengeluhkan semua yang menimpamu, pun meyakini bahwa kosmos tak lebih dari sebuah bidang datar yang ditopang oleh seekor kura-kura raksasa di punggungnya. Namun pada akhirnya, apa yang kamu ketahui? Bagaimana kamu mengetahui dan mempercayai semua, yang ada maupun tidak ada?
“Apa yang kita ketahui itu terbatas, sedangkan yang tidak kita ketahui itu tak berhingga; secara intelektual kita berdiri di satu pulau kecil di tengah-tengah lautan ketidaktahuan yang terbatas. Tugas kita di setiap generasi adalah mereklamasi untuk memperluas daratan.” — T.H. Huxley, 1887.
Aku mencoba untuk melempar jaring ke lautan, berharap akan ada kebahagiaan dan harapan yang tersangkut di dalamnya. Kamu tertawa, mengatakan bahwa itu sia-sia. Dan kamu benar, yang kudapatkan hanyalah ketidakpastian yang terjerat di dalamnya. Mungkin kamu akan mencoba menguraikan semua benang-benang ketidakpastian dari jaring itu untuk menghiburku, namun yang pasti akan kamu temukan hanyalah ketidakpastian itu sendiri. Hidup, mungkin, memang dipenuhi dengan ketidakpastian, dan kamu membenci itu. Namun aku tidak membenci kamu yang membenci hal itu.
Tak jauh berbeda seperti ilmuwan dengan gagasan-gagasannya yang pada awalnya dianggap gila, akan datang masa saat kamu diliputi keresahan dan aku ingin mengajakmu mendobraknya, menerobos maju ke tahap berikutnya. Kamu ragu. Kamu tidak yakin. Kamu tahu itu wajar. Satu satunya cara untuk meruntuhkan ketidakyakinan teorimu adalah dengan mencobanya, walaupun mungkin itu akan menghancurkan keyakinanmu bila tidak berakhir baik.
Dalam alam semesta yang luas tanpa batas, tiap titik dapat kamu pilih sebagai pusatnya. Setiap titik yang kamu pilih akan memiliki bintang sejumlah tak terhingga di semua sisinya. Namun aku khawatir hal itu akan terbantahkan bila ditemukan kebenaran mengenai kondisi terhingga, dengan semua bintang saling bertumbuk dan bertabrakan.
Aku memang mengakui diriku sebagai bagian dari kosmos, dilahirkan daripadanya, dengan takdir yang sangat terkait dengannya. Mungkin aku hanya memberikan riak-riak kecil padanya, terlalu kecil sebagaimana manusia lainnya yang mungkin nampak tak berarti bagi seluruh alam. Aku takut. Aku takut. Aku takut. Dan aku takut, bila pada akhirnya riak ini akan membawa kehancuran dan menuntunku pada khaos.
Malam semakin larut. Atau setidaknya, langit tetap gelap dan terasa hampa sedang pantulan wajahmu masih menatapku.
Kamu mungkin akan tetap dan selalu begini, berada di bawah permukaan laut dan tetap berada diantara buih-buih malam yang membuatmu merasa nyaman. Terjaga setiap siang dan malam, serta terlelap setiap siang dan malam, di atas kasur empukmu yang terisi penyesalan. Kamu akan baik-baik saja. Akan ada sedih, tentu saja. Ada duka. Ada pahit. Ada amarah. Ada tangis. Ada pengulangan. Ada penantian. Ada penyesalan. Ada akhir atas semua yang kamu awali. Ada awal, setelah semua yang kamu akhiri.
Kamu ada. Dan aku ada.
Kosmos telah membawaku ke jangkauan terluar pemahamanku, ke tempat-tempat yang amat kecil maupun luas tak terkira.
Tentang semuanya, tentang kamu.
Aku menyudahi ceritaku, dan menyadari bahwa pantulan wajahmu tak lagi menengahi bintang-bintang dan tanda tanya di lautan yang kian muram.
Dan aku melihatmu duduk di sampingku.
Ini semua seperti saat pertama kali aku bersua dengan mereka, mengapung di tepi lautan kosmik yang masih tenang dengan riuhnya. Aku cukup yakin bahwa mereka abadi, namun tak tenggelam di dalamnya. Dan selayaknya waktu, jarak yang dibentang di antara kami harus dipangkas habis. Aku mendayung menghampiri sepasang manusia yang telah lama tak kujumpai.
Mereka tak lagi tampak kelelahan. Mereka menua sedemikian lamanya hingga mereka kembali menjadi remaja. Dengan lembaran-lembaran naskah yang menyelimuti dengan sejuk. Aku sedikit berharap Carl akan kembali menyambutku setelah ribuan tahun perjalanan mengarungi nebula. Namun kali ini ia hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Sebaliknya, Ann Druyan bertanya dengan tatapan yang merengkuhku dengan hangat,
“Apa yang kamu temukan?”
“Aku menemukan segala yang ada, yang pernah ada, dan yang akan ada.”
“Dan apa yang ingin kamu sampaikan padanya?”
“Dalam luasnya antariksa dan panjangnya waktu, bahagia rasanya menempati dan menjadi bagian kecil dari seluruhmu. Aku mencintaimu, Kosmos.”